Indonesia for Humans

Jakarta, Indonesia
Indonesia for Humans is a non-profit-community-based organization for Economy Justice and SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identity and Gender Expression) rights.

Sunday, July 29, 2012

TRIPS dan TRIPS Plus berdampak buruk pada akses atas obat


(Kanaga Raja - Jenewa) –Perjanjian hak atas kekayaan intelektual yang terkait perdagangan (TRIPS -Trade Related aspects of Intellectual Property Rights) dan TRIPS Plus dalam perjanjian dagang bilateral (FTA -Free Trade Agreements) memiliki dampak buruk pada harga dan ketersediaan obat, dan mempersulit suatu negara untuk selaras dengan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak kesehatan, demikian dikatakan Pelapor Khusus PBB (UN Special Rapporteur) untuk kesehatan, Mr. Anand Grover.  

Demikian juga, ketiadaan kapasitas yang dibarengi dengan tekanan dari negara maju, membuat negara-negara berkembang dan miskin sulit menggunakan fleksibilitas TRIPS untuk mempromosikan akses pada obat. Karena itu, negara-negara perlu untuk mengambil langkah memfasilitasi penggunaan fleksibilitas TRIPS.

Lebih jauh, negara-negara berkembang dan kurang berkembang (LDCs – least developed countries) seharusnya tidak menerapkan pengaturan TRIPS plus dalam hukum-hukum nasional mereka. Negara-maju juga seharusnya tidak mendorong negara berkembang dan LDCs untuk memasuki pertanjian TRIPS plus dalam FTA dan menyadari kebijakan-kebijakan yang mungkin dapat melanggar hak atas kesehatan.


Demikian beberapa rekomendasi kunci yang dibuat oleh ahli hak azasi dalam laporannya (A/HRC/11/12) kepada Dewan Hak Azasi Manusia yang memulai pertemuan regularnya pada awal Juni lalu.

Pelapor khusus menyarankan bahwa negara berkembang dan LDCs harus mengkaji hukum-hukum nasional dan kebijakannya serta memperhatikan apakah mereka telah memaksimalkan penggunaan fleksiblitas TRIPS. Jika dimungkinkan, sebaiknya mengamandemen undang-undang nasionalnya agar bisa menggunakan fleksibilitasnya secara penuh.

Negara-negara berkembang dan LDCs harus juga menyediakan pengecualian-pengecualian dalam paten atas obat-obatan, seperti bentuk baru dan penggunaan baru dan penggunaan kedua atau kombinasi dari keduanya, untuk mencegah upaya ‘evergreening-memperpanjang masa perlindungan paten’ dan memfasilitasi masuknya obat-obat generik.

Ditambahkan, negara berkembang dan LDCS perlu untuk memasukkan klausul mengenai lisensi wajib, termasuk penggunaan paten oleh pemerintah, dalam UU paten nasional agar bisa digunakkan. Undang-undang tersebut menyediakan prosedur lisensi wajib yang transparan, langsung dan cepat. Juga perlu untuk menilai kembali keputusan 30 Agustrus dari WTO dan menyediakan mekanisme yang lebih sederhana.

Dalam presentasinya kepada Dewan HAM, pelapor khusus mencatat bahwa hampir dua milyar manusia tidak punya akses pada obat-obatan esensial, dan terjadi banyak terjadi ketidakadilan dalam akses atas jasa kesehatan dan obat-obatan di seluruh dunia, yang dibebabkan oleh tingginya biaya. Perbaikan akses pada kesehatan dan obat-obatan dapat menyelamatkan 10 juta orang per tahun, 4 juta di antaranya di Afrika dan Asia Tenggara.

"Jelas, bahwa hak kekayaan intelektual (HKI) memiliki dampak pada penikmatan atas hak pada kesehatan karena langsung berdampak pada keterjangkauan obat-obatan,” kata Grover.

Laporan Pelapor Khusus mengeksplorasi dampak dari TRIPS dan TRIPS Plus atas akses pada obat-obatan dalam kerangka yang lebih luas dari hak atas kesehatan.

Penggunaan penuh dari fleksibilitas TRIPS dapat membantu negera-negara untuk memenuhi kewajibannya untuk melindungi, mempromosikan dan memenuhi hak atas kesehatan dengan memperbaiki akses pada obat-obatan yang terjangkau. Bagaimanapun, penggunaan fleksibilitas TRIPS di berbagai negara bervariasi. Ada beberapa contoh negara-negara berkembang dan LDCs yang menerapkan TRIPS Plus yang mungkin bisa berdampak buruk pada hak atas kesehatan.

Ahli hak azasi ini menekankan perlunya untuk melihat kembali perjanjian-perjanjian yang terkait dengan perdagangan dalam rangka untuk melihat dampaknya pada hak atas kesehatan dan juga akses atas kesehatan.

Lebih jauh, Pelapor Khusus mencatat bahwa hak atas kesehatan, tercantum dalam berbagai perjanjian hak azasi manusia di tingkat regional dan internasional, dan di banyak banyak konstitusi negara, yang merupakan hak insklusif. Hak-hak tersebut juga menjadi menjadi dasar penentu kesehatan, seperti akses atas air bersih, dan sanitasi, rumah sehat, dan nutrisi, juga determinan lain seperti disparitas dan diskriminasi ras, gender, dan etnis.

Dia menekankan bahwa jika diintegrasikan ke dalam pembuatan kebijakan kesehatan nasional dan internasional, hak atas kesehatan dapat membantu untuk menyususn praktek, kebijakan dan UU yang berkelanjutan, berarti, adil dan responsif terhadap masyarakat yang miskin.

Menurut laporan, tren kesehatan mengindikasikan bahwa meskipun terjadi kemajuan dalam 30 tahun terakhir, ketimpangan massif masih terjadi dalam akses atas jasa kesehatan dan obat-obatan di selutuh dunia. Penyakit-penyakit yang diidentikkan dengan kemisinan seperti penyakit infkesi menular, berkaitan dengan kehamilan, kelahiran dan nustrisi masih berjumlah setengah dari total penyakit di negara-negara berkembang. Jumlahnya juga sepuluh kali lipat lebih tinggi di negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara maju.

Ada perkembangan yang pesat dari penderita tuberculosis (TB) dan malaria dalam satu dekade terakhir: 58 persen dari kasus malaria terjadi di 20 persen masyarakat yang termiskin, dan setiap tahun terjadi 529 ribu kematian akibat melahirkan.

Ketidakmampuan dari masyarakat untuk mengakses obat-obatan sebagain disebabkan oleh tingginya biasa, demikian laporan menuturkan. Dalam konteks HIV, pada 2007 hanya 31 persen orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang menerima perawatan. Ditambahkan, diperkirakan bahwa ODHA akan menjadi resisten dengan obat-obatan lini pertama, dan akan memerlukan perawatan dengan lini kedua yang saat ini, biayanya berkisar 9 sampai 19 kali lipat dari obat lini pertama.

Hukum kekayaan intelektual memilliki dampak pada kesehatan, karena memproteksi produk-produk farmasi. Paten menciptakan monopoli, membatasi persaingan dan memperbolehkan pemilik paten untuk menetapkan harga tinggi. Berkaitan dengan obat-obatan, paten produk memungkinkan pemilik paten untuk menjual dengan harga yang tinggi.

Kompetisi dari produk generik di farmasi telah berpotensi membuat harga menjadi lebih rendah dan meningkatkan akses, kata laporan tersebut. Pelapor khusus menunjuk ketiak tahun 2001, dimana krisis HIV memuncak sehingga ada kebutuhan akan obat antiretrovirals (ARV) yang tinggi. Ketersediaan akan ARV generik dari negara-negara berkembang telah menurunkan harga dari lebih 10 ribu dolar per pasien per tahun menjadi kurang 350 dolar per pasien per tahun untuk terapi lini pertaman. Sekarang, kompetisi dengan obat generik telah membantu menurunkan harga generasi pertama ARV lebih dari 99 persen.
Pentingnya ketersediaan obat generik dilanjutkan, digarisbawahi sekarang ini dengan keberadaanya dalam berbagai program internasional. Namun, keberlanjutan dari obat generik ini saat ini dalam keraguan, demikian kata laporan Pelapor Khusus.

[catatan redaksi: Laporan Pelapor Khusus ini ditulis dalam 100 an halaman terbagi menjadi tiga bagian, bagian pertama menuliskan mengenai hak setiap orang untuk mendapatkan standar kesehatan baik itu fisik maupun mental, dan kaitannya dengan HKI. Bagian 2 mengeksplorasi mengenai perjanjian TRIPs dan fleksiblitas yang tersedia, dan memberikan beberapa gambaran fleksibilitas mana yang pernah digunakan oleh negara-negara berkembang dan bagaimana dimasukkan dalam hukum-hukum nasional negara. Sedangkan bagian terakhir membahas mengenai fenomena perkembangan FTA dengan penerapan TRIPS Plus, yaitu penerapan standar perlindungan HKI yang lebih tinggi dari WTO.]

Diterbitkan di : twnindonesia.info ; 1 Juli 2009

No comments:

Post a Comment