Indonesia for Humans

Jakarta, Indonesia
Indonesia for Humans is a non-profit-community-based organization for Economy Justice and SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identity and Gender Expression) rights.

Sunday, July 29, 2012

Daulat Benih di Negeri Sendiri


Tak tahan dengan dominasi benih pabrikan, petani membentuk bank benih demi mengakhiri ketergantungan. Upaya membangun kemandirian petani.

Dokumentasi : Viena Tanjung
Di tengah kesejukan udara Bogor, semangat dari berbagai daerah itu disatukan, Jumat dua pekan lalu. Petani pemulia benih dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat sepakat membentuk Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI). “Pembentukan AB2TI menjadi puncak dari sarasehan jaringan petani nasional,” ujar Koordinator Pendidikan dan Advokasi Aliansi Petani Indonesia, Fadil Kirom.
Bermodal saweran antarjaringan, mereka merespon problem semakin menghilangnya benih lokal unggul di Indonesia. Tiga hari penuh perwakilan berbagai paguyuban petani, peneliti, dan lembaga swadaya masyarakat berembuk untuk mewujudkan kedaulatan benih bagi petani.
Selain petani, bergabung pula pakar bioteknologi tanah dan lahan Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, bersama segelintir anggota dewan perwakilan rakyat.
Reriungan petani itu tak terjadi tiba-tiba. Benih-benih lokal unggul, baik tanaman pangan maupun hortikultura (tanaman kebun), yang kian menurun produktivitasnya menggugah mereka berbuat sesuatu.


Harga benih unggul hasil pabrikan yang meningkat tiap tahunnya juga kian mencekik petani di daerah. “Bank Benih diharapkan bakal memproduksi benih lokal unggul Indonesia,” ujar Fadil.
Benih kini tak hanya langka bagi petani. Ketergantungan petani terhadap benih pabrikan juga semakin memprihatinkan

Ketergantungan petani terhadap benih hortikultura pabrikan mencapai 70 persen. Sedang ketergantungan terhadap benih padi jenis hibrida tercatat mencapai 40 persen. Ketergantungan diakui Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, salah satunya, disebabkan lemahnya dukungan pemerintah. Dorongan terhadap pemulia benih di level kelompok tani dirasakan nyaris tak ada. Bahkan, kebijakan pemerintah cenderung memperbesar peran perusahaan untuk menguasai pasar. “Subisidi benih padi langsung membuka peran perusahaan dalam kebijakan perbenihan,” ujar Said. Sejak 2007, benih hibrida subsidi masih berlaku untuk program peningkatan produksi beras nasional. Petani dibuat maklum kendati tahu subsidi berasal dari indukan benih impor.
Pasungan subsidi benih pabrikan memicu sejumlah kelompok tani di Indramayu, Jawa Barat, menangkar benih padi sendiri. Sejak awal 2000-an, setidaknya 54 varietas padi baru mereka hasilkan. Benih golongan unggul itu sudah stabil dan siap dilepas. Semangat serupa menular ke Purbalingga (10 varietas) dan Wonogiri (3 varietas) di Jawa Tengah.
Kendati masih terbatas di sejumlah daerah tertentu, komunitas pemulia benih ini menjadi awal dari gagasan bank benih. Berencana membentuk kepengurusan dari pusat hingga level kabupaten, AB2TI hendak mendorong lahirnya kelompok pemulia benih di semua pelosok. Akhir Juli ini deklarasi bank benih dikumandangkan sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi benih pabrikan. “Ini bentuk perlawanan mereka,” ujar Said.
Tak hanya di situ. Adanya kewajiban sertifikasi bagi pemulia dirasa memberatkan petani. Kebijakan pemerintah ihwal pembenihan juga melarang petani menjual benih tanpa adanya label resmi atau pun sertifikat.
Padahal, sulit bagi petani bisa memenuhinya karena harus melewati persyaratan berat dan prosedur yang berliku. Semisal harus melakukan uji multilokasi dibanyak tempat, yang minimal menelan ongkos tak kurang Rp 500 juta. Kendati secara legal harus tunduk terhadap aturan tersebut, Fadil menyoal kenapa sertifikat tak bisa dibuat oleh asosiasi-asosiasi bersangkutan. “Siapa yang menjamin produk benih aman dari hama penyakit?”
Namun demikian, sampai hari ini, pemerintah yang diringankan tugasnya dengan upaya tersebut, diakui Said, tak tampak memberi dukungan konkret. Hal itu terlihat dari sepinya kebijakan yang memberikan kemudahan bagi petani, termasuk dalam hal pemuliaan benih. Yang kerap terjadi malah kriminalisasi terhadap petani pemulia benih.
Tengoklah kasus Kuncoro, petani asal Kediri, Jawa Timur yang berhasil menyilang jagung sehingga menghasilkan bibit baik dan lebih murah, justru membawanya ke tahanan polisi. Ia disel atas tuduhan melanggar pasal 60, 61 UU No 12/1992, yakni melakukan sertifikasi liar dan mengedarkan benih tanpa izin. Kasus serupa dialami banyak petani di sejumlah daerah.
Pihak Kementerian Pertanian membantah pihaknya cenderung mempersulit kreativitas para pemulia benih lokal. Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menilai unggulnya satu varietas di lokasi tertentu tak otomatis cocok di lahan daerah lainnya. “Kalau petani daerah lain yang menggunakan hasilnya tidak bagus, nanti pemerintah juga yang disalahkan,” kilahnya.
Beredarnya suatu varietas menurut dia harus ada izin pelepasannya, dalam pengertian, pemerintah bertanggung jawab terhadap dampak persebarannya. Berdalih alasan pentingnya standar kualitas dan tidak ingin petani menderita, pihaknya mengaku terus mengawal proses pemuliaan benih.
Rusman mengaku Kementan justru terus mendorong upaya pemuliaan. Ia menghendaki lahirnya kreasi dan inovasi baru di dalam pemuliaan mupun penangkaran. Pemerintah, menurut mantan Kepala BPS ini, sebenarnya prihatin dengan maraknya bibit impor. Untuk itu pihaknya terus mendorong penangkaran, melalui BUMN yang resmi. “Kita tentu sama-sama bertangung jawab.”
Sudah saatnya pemerintah mendorong inisiatif bagi petani pemulia benih. Gelontoran subsidi benih padi yang mencapai 5,7 triliun tentu akan lebih bermanfaat untuk mendorong kreativitas petani pemulia benih. Selain subsidi yang tak tepat sasaran, benih impor yang banyak didatangkan dari China terbukti tak optimal dan rentan hama wereng.

Ditulis oleh : Anom B. Prasetyo dan Lukman Al Haries 
Diterbitkan oleh : http://www.prioritasnews.com

No comments:

Post a Comment