Gugatan Novartis pada kantor Paten India telah dilakukan beberapa tahun lampau. Saat ini kasusnya disidangkan di Mahkamah Agung India, keputusannya kemungkinan akan dilakukan pada bulan Juli 2012 mendatang. Tulisan di bawah ini dibuat pada awal gugatan ini berlangsung tahun 2007 dan pernah dimuat di website IGJ saat itu www.globaljust.org. Namun website itu berganti nama menjadiwww.igj.or.id. Karena tulisan ini masih relevan, maka dipublikasi kembali.
Gugatan perusahaan farmasi multinasional, Novartis ditolak oleh Pengadilan Tinggi Chennai pada 6 Agustus lalu 2007 lalu. Perusahaan farmasi itu mengajukan gugatan setelah pemerintah India menolak memberikan paten untuk Glivec, obat kanker, pada Januari 2006. Penolakan itu memberikan peluang untuk terus memproduksi secara bebas obat generik Imatinib untuk kanker.
Keputusan itu disambut para aktivis kesehatan yang yang telah mengingatkan, interpretasi yang terlalu luas atas kelayakan paten akan menghentikan India dari memproduksi obat-obatan murah untuk orang miskin. Direktur organisasi Dokter tanpa Batas atau Médecins Sans Frontières (MSF), Tido von Schön-Angerer, mengatakan penolakan itu merupakan penyelamatan jutaan pasien dan dokter di negara-negara berkembang yang tergantung obat buatan India.
Sementara Novartis mengumumkan akan memecah dana risetnya dan pengembangannya yang direncanakan ke India dipindah ke China. Daniel Vasella, pejabat tinggi perusahaan farmasi tersebut mengatakan, “keputusan ini bukan merupakan undangan untuk menginvestasikan dalam pengembangan dan penelitian di India, seperti yang telah kami lakukan. Kami akan menginvetasikan lebih ke negara dimana kami mendapat perlindungan. Ini juga bukan sejenis hukuman, ini hanya pertanyaan mengenai iklim investasi ke depan."
Pengadilan menekankan satu bagian dalam hukum paten India yang mensyaratkan penemuan yang layak untuk dipatenkan atau mendapat paten baru, harus benar-benar berubah signifikan. Klausa ini untuk mencegah terjadinya paten atas suatu penemuan yang hanya diubah sedikit. Dikatakan bahwa tidak ada yurisdiksi yang mengatur apakah klausa ini selaras dengan aturan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organisation) yang berkaitan dengan perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual atau TRIPs (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights), seperti yang dituduhkan oleh Novartis.
Kasus itu berawal dari penolakan Kantor Paten Chennai atas aplikasi paten untuk bentuk kristal beta dari obat kanker kanker imatinib, yang dipasarkan dengan nama Glivec atau Gleevec di Amerika Serikat. Kantor paten mengatakan, permohonan Novartis tidak memenuhi syarat paten yaitu ’kebaruan’ dan ’langkah inovasi’, dua syarat utama yang digunakan untuk mengevaluasi aplikasi paten. Padahal Novartis telah mempatenkan Glivec di 40 negara lainnya termasuk China. Sehingga, Novartis membawa kasus ini ke pengadilan tinggi Chennai, dan menuntut keputusan yang didasarkan pada Undang-undang Paten India.
Dasar dari penolakan Kantor Paten India adalah Bagian 3 (d) dari UU Paten India yang menolak untuk mempatenkan ‘bentuk baru dari substansi atau kandungan yang telah diketahui” kecuali dapat menghasilkan “peningkatan kemanjuran dari substansi/kandungan yang sudah diketahui”. Klausa itu nampaknya memang ditujukan untuk menghindari adanya paten yang ‘selalu diperbarui’ atau ‘evergreening’, dimana ada perubahan sedikit pada molekul yang telah dipatenkan untuk mendapatkan paten baru sehingga memperpanjang periode perlindungan. Pada akhirnya, paten yang selalu dimudakan, akan menghambat masuknya obat generik ke dalam pasar.
Menteri Kesehatan India, Anbumani Ramadoss mengatakan ’sangat prihatin’ dengan kasus yang mungkin akan membatasi India dalam memproduksi obat generik yang murah. Bersama dengan mantan presiden Swiss, Ruth Dreifuss, Uskup Desmond Tutu, dan anggota-anggota parlemen eropa dan Konggres AS, Ramadoss menjadi bagian dari hampir setegah juta orang yang menandatangani petisi MSF, yang mendesak Novartis untuk membatalkan kasus tersebut.
Bagaimana Mendefinisikan “Peningkatan Kemanjuran”?
Awalnya, obat Imatinib yang dikembangkan pada tahun 1992 tidak bisa dipatenkan karena UU Paten di India pada saat itu tidak mencakup produk-produk farmasi. Bentuk molekul “kristal batang beta atau beta crystalline' dikembangkan menjadi pil untuk pasien dan diluncurkan dengan nama Glivec pada 2001.
Sebagai negara berkembang, India memiliki waktu sampai tahun 2005 untuk mengharmonisasikan UU patennya dengan aturan TRIPs. Termasuk untuk melindungi paten atas produk-produk farmasi. Di India, diperkenalkan aturan ‘hak eksklusif pemasaran’ sementara sebelum produk-produk tersebut layak untuk dilindungi paten. Novartis mendapatkan hak eksklusif tersebut untuk glivec pada November 2003. Harga glivec yang sebelumnya 230 US dollar menjadi 2740 dolar per tahun atau mengalami kenaikan 12 kali lipat.
India kemudian mengesahkan UU Paten yang selaras dengan TRIPs WTO pada tahun 2005. Lalu, Novartis mengajukan permohonan paten atas Glivec ke kantor paten India berdasarkan UU Paten tahun 2005. Namun, permohonan Novartis untuk paten Glivec ditolak kantor paten India dengan dasar bahwa bentuk beta crystalline dari glivec tidak signifikan berbeda dalam ‘kemanjuran’ dari molekul obat sebelumnya imatinib. Novartis kemudian membawa kasus ini ke Pengadilan Tinggi India, dengan alasan Bagian 3(d) dari UU Paten India, sebagai “tidak konstitusional karena tidak jelas, arbitrary, melanggar hak dasar mengenai kesamaan dan tidak sesuai dengan TRIPs”.
Peneliti dari Novartis, Paul Herrling mengatakan “kemajuan di bidang kedokteran terjadi karena ada perubahan inovasi yang sedikit. Jika undang-undang paten India tidak mengakui perubahan yang sedikit, namun penting, pasien akan sulit mendapatkan pengobatan yang lebih baik”.
Namun demikian, definisi dari ‘peningkatan kekhasiatan obat’ masih tidak jelas. Pengadilan tinggi India berpendapat bahwa definisi dari ‘kemanjuran’ adalah kemampuan obat dalam menghasilkan efek terapetik yang diinginkan. Namun tidak ada (belum ada) petunjuk detail bagaimana ‘peningkatan kemanjuran’ bisa dikuantifikasi, seperti misalnya, lebih sedikit efek negatifnya atau dosis yang lebih rendah.
Novartis dalam pembelaannya mengatakan bahwa Glivec meningkatkan bioavailability(misalnya tingkat penyerapan oleh pasien) lebih 30 persen dari bentuk yang lama, Imatinib. Menurut Novartis, bukti ini seharusnya bisa diakui sebagai ‘peningkatan kemanjuran’. Tetapi, kantor paten Chennai menolak bukti tersebut.
Karena itu, isu yang nyata adalah begaimana Badan Paten dan Merk India (IPAB) mendefinisikan ‘kemanjuran’. Ini akan menentukan cakupan paten dan sejauh mana perubahan inovasi yang kecil akan dilindungi.
No comments:
Post a Comment